Gejolak Reforma Agraria: Aksi Penolakan Pembangunan Bandara Kulonprogo Diatas Lahan Pertanian Produktif

Rabu, 22 April 2015, pukul 10.00 WIB, matahari bersinar sangat terik membakar udara siang hari itu. Namun semangat ratusan massa yang terdiri dari petani Kulonprogo, beberapa lembaga yang tergabung Gerakan Solidaritas Tolak Bandara (GESTOB), dan beberapa lembaga mahasiswa UGM, jauh lebih panas dan membuat gerah sedang berkumpul di lapangan Abu Bakar Ali untuk melakukan aksi menuju kantor Gubernur DIY. Bukan tanpa alasan aksi ini dibuat, melainkan untuk menuntut pencabutan Izin Penetapan Lokasi (IPL) pembangunan Bandara Kulonprogo  yang telah diterbitkan melalui SK Gubernur DIY No 68/KEP/2015 pada tanggal 31 Maret 2015 kemarin. Dengan keluarnya IPL ini maka  ancaman penggusuran lahan warga semakin nyata. Proyek tersebut akan menggusur lahan seluas 637 Hektar yang  meliputi 6 desa yaitu (Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon) yang melibatkan sekitar 2.875 Kepala keluarga. Lahan tersebut meliputi perumahan warga, sekolah, masjid, dan lahan pertanian produktif warga.

Adapaun tuntutan aksi tersebut adalah:

  1. Tolak pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo
  2. Tolak perampasan tanah dan Tolak MP3EI
  3. Tolak Represifitas Aparat terhadap petani
  4. Lindungi hak rakyat atas tanah
  5. Bebaskan 4 petani Kulonprogo: Sarijo, Wakidi, Trimarsudi,dan Wasio
  6. Cabut UU keistimewaan DIY (UU K no 13/Tahun 2013)

Dalam beberapa wawancara dengan salah seorang warga Kulonprogo yang ikut aksi, Bapak Wagiman mengaku memang tidak pernah ada sosialisasi mengenai proyek pembangunan tersebut. “bahkan pihak PT Angkasa Pura I juga belum pernah memberikan sosialisasi mengenai relokasi perumahan warga, pergantian tanah atau pembelian tanah tidak pernah melibatkan warga” ujar Pak Wagiman.

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Pak Sipiyo, beliau mengaku bahwa sangat disayangkan bahwa lahan pertanian mereka yang sangat produktif harus beralihfungsi menjadi bandara.  Beliau juga merasa kebingunangan mencari pekerjaan dan belum jelas dimana ia akan pindah jika benar proyek bandara tersebut akan dijalankan.

Menurut salah seorang anggota WTT (Wahana Tri Tunggal), jumlah kepala keluarga yang akan direlokasi hanya 5 desa yaitu  472 KK dari 2.875 kepala keluarga. Sedangkan lahan pengganti perumahan untuk 472 KK tersebut hanya 58 hektar. Ketidakjelasan ini membuat warga tidak lagi mempercayai pemerintah dan PT Angkasa Pura I. Ada indikasi bahwa pemerintah dan pihak PT Angkasa Pura I berbohong pada warga.

Dalam aksi massa tersebut, ratusan massa dicegat oleh aparat kepolisian dan pegawai pemerintahan. Terjadi pembicaraan sengit antara perwakilan aksi massa dan pihak pemerintahan. Akhirnya perwakilan dari massa aksi yang terdiri dari perwakilan petani, perwakilan WTT, dan perwakilan BEM di UGM dapat masuk ke gedung Gubernur DIY. Dari audiensi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa “Gubernur belum bisa menemui massa aksi dan akan mengatur jadwal pertemuan dengan petani Kulonprogo pada tanggal 29 atau 30 April 2015 mendatang”. Hal inilah yang membuat kumpulan massa aksi kecewa, terutama ratusan petani yang sudah jauh-jauh dari Kulonprogo berpanas terik menuntut keadilan atas haknya. Kekecewaan inilah yang membuat beberapa oknum memprovokasi dan sempat terjadi keos dalam aksi tersebut. Terlihat beberapa aksi massa terlihat adu dorong dengan pihak aparat pemerintahan. Massa berusaha masuk dan melakukan audiensi langsung dengan Gubernur secara langsung. Mereka ingin mengaspirasikan masalah tersebut secara baik-baik supaya dicapai solusi bagi kedua belah pihak.

Ketika melihat bagaimana perjuangan para petani Kulonprogo, saya hanya bisa mengelus dada. Anak-anak kecil merengek kepanasan dan desak-desakan digendong ibunya yang ikut aksi. Nenek-nenek, kakek-kakek beruban harus menitahkan langkah lemahnya dalam tuntutan transparansi keadilan. Lalu dimana mahasiswa saat ini berada? Adakah mereka hadir mengawal atau sekedar memberikan support moral kepada Ibu-ibu yang menyelempangkan kerudung lusuh dan berdebu. Mereka semua tetap bersatu, bergandengan tangan menolak IPL pembangunan bandara Kulonprogo yang bukan hanya akan merampas rumah mereka tapi juga pekerjaan mereka.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “dasar-dasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi Negara dan Rakyat”. Hak rakyat atas tanah dijamin oleh UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria telah dilanggar, tidak terkecuali di D.I. Yogyakarta.

Lahan pertanian di Kulonprogo merupakan lahan yang agregatnya pasiran. Dimana tanah berpasir akan meloloskan banyak air, sehingga akan sangat boros untuk lahan pertanian. Butuh waktu bertahun-tahun bagi petani untuk mengolah tanah mereka supaya agregatnya menjadi lebih liat. Sekarang, tanah tersebut sudah menjadi subur. Banyak produk pertanian dihasilkan disana. Bahkan nasi, sayuran, dan bahan makanan lain yang kita konsumsi setiap hari pun juga bisa saja berasal dari lahan pertanian di Kulonprogo.

Adanya pengalihfungsian lahan pertanian ke sektor non pertanian di Kulonprogo tentu saja akan menciderai cita-cita besar pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyatnya. Pengurangan lahan yang besar tentu akan berimbas pada menurunnya produktivitas pertanian, artinya kedaulatan pangan dalam taraf regional sekalipun akan sulit diwujudkan, apalagi dalam taraf nasional. Bukannya kita semua kontra dengan pembangunan bandara di Kulonprogo, namun bukankah sebuah pembangunan yang baik seharusnya juga memperhatikan tata ruang, kontinuitas lingkungan, dan orientasi masa depan dari aspek sosial ekonomi  dari masyarakat sekitar?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.