Reforma Agraria: Cita-cita Manusia-Manusia Tani yang Tidak Pernah Terwujud

Masih ingat tragedi Mesuji Lampung? Dimana kepala-kepala dipenggal dengan mudahnya layaknya menyembelih hewan kurban, demi sebidang tanah. Masih ingat dengan tragedi penggusuran lahan petani di Karawang? Masih ingat dengan tragedi pembangunan tambang pasir besi di atas lahan petani Kulonprogo? Masih ingat konflik pembangunan pabrik semen di Rembang? Masih ingat? Semua konflik tersebut hanyalah beberapa kasus reforma agraria yang selalu saja meninggalkan korban terhadap masyarakat. Pelanggaran HAM selalu saja terjadi akibat perebutan sebidang TANAH.

Tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan kita. Tanah sebagai lahan membangun rumah. Tanah sebagai lahan pertanian. Tanah sebagai lahan pembangunan. Dan tanah sebagai sumber masalah jika tidak diatur dengan baik. Penguasaan tanah di dalam negeri ini sesungguhnya telah diatur dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Bisa dibilang, UUPA adalah empunya segala peraturan tentang reforma agraria.

Istilah reforma agraria bukan hal baru bagi kita, terutama kita yang berada di bidang pertanian dan perikanan. Reforma agraria adalah suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “meletakkan dasar-dasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat”. Dalam UU PA 1960 juga ditegaskan bahwa ruang lingkup agraria bukan hanya tanah saja, namun meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Pada perjalananya, UUPA 1960 tidak pernah bisa dilaksanakan dengan baik. Proses pergantian pemimpin di negeri ini sangat mempengaruhi pelaksanaan UUPA 1960  itu sendiri. Tumbangnya orde baru pada tahun 1998, yang kemudian dikenal sebagai reformasi, hanya menghasilkan rezim-rezim baru yang sedikitpun tidak mampu menjadi garda depan perubahan bagi kaum tani dan rakyat Indonesia. Dari pemilu ke pemilu pasca reformasi, hanya mendudukan kepemimpinan bangsa ini pada rezim yang sangat kapitalistik. Bukan hanya bertindak sebagai penguasa yang pro dengan kaum pemodal, tetapi juga telah menjadikan nasib kaum tani semakin masuk kedalam jurang kemiskinan.

Sekian banyak produk hukum (undang-undang dan ketetapan) yang kemudian dihasilkan pada periode pasca reformasi seperti: Tap MPR Nomer IX Tahun 1999 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomer 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan Perpu Nomer I Tahun 2001 yang memberikan izin menambang di hutan lindung, Undang-undang Penanaman Modal, UU Minerba, UU Konservasi Sumber Daya Alam, UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Perlindungan Varietas Tanaman, UU Perikanan, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Semua produk hukum tersebut justru sangat bertentangan dengan semangat subtansi dari UUPA 1960 dan konstitusi dasar negara Republik Indonesia.

Jika tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “meletakkan dasar-dasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat”. Maka, rakyat mana yang telah disejahterakan dan dimakmurkan oleh Negara? Dimana perwujudan keadilan reforma agraria pemerintah kepada rakyat? Jika lebih dari 70% penduduk di negeri ini adalah petani dan nelayan, maka rakyat mana yang telah mendapatkan keadilan dalam reforma agraia?

Pada dasarnya memang pelaksanaan reforma agraria harus dilakukan dengan penguasaan atas sumber produksi. Artinya bagaimanapun juga tanah sebagai sumber dari segala-segala produksi yang dapat dikelola dan diperuntukan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat. Di sinilah kemudian kita juga menegaskan bahwa pelaksanaan reforma agraria sejati harus dimulai dengan penguasaan tanah sebagai alat produksi utama. Sebab tanah (dengan segala isi di dalamnya), menjadi komoditi penting yang harus dikembalikan ke tangan rakyat Indonesia. Dalam posisi ini tanah adalah modal kehidupan. Sehingga agar ia efektif, maka harus didasarkan kepada empat prinsip berikut: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial.

Selain dari pada itu, kita juga ingin menegaskan bahwa reforma agraria sejati-seperti yang tertuang dalam UU PA 1960-jangan juga hanya sebatas penguasaan kembali lahan/tanah (land reform) yang sudah atau belum dirampas oleh pemilik modal. Sebab reforma agraria sejati harus meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, juga harus menjawab realita tatanan produksi yang timpang pada proses ekonomi rakyat. Dalam hal ini reforma agraria harus bisa menjawab pra produksi-produksi-pasca produksi (distribusi)-konsumsi dalam rangkaian ekonomi rakyat.

Adanya carut-marut pelaksanaan UUPA 1960 di negeri ini hanya akan menambah beban rakyat. Sudah cukup nyawa dikorbankan, sudah cukup maniak-maniak asing memeras kekayaan kita, sudah cukup kaum pemodal berbahagia dengan mengorbankan hak rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa perjuangan menuntut dilaksanakannya reforma agraria sesuai UUPA 1960 sama dengan  konsolidasi nasional demokrasi kerakyatan. Dimana proletarisasi negara bangsa serta marjinalisasi dan penghisapan sumber-sumber agraria republik ini sudah harus disingkirkan dan menegaskan kembali kemerdekaan nasional kedua, dimana kedaulatan negara diukur dari kedaulatan warga negaranya terhadap tanah, air, udara dan seluruh kekayaan yang dikandung oleh ibu pertiwi.

Saat ini, masyarakat di Kulonprogo tengah bergejolak mempertahankan lahan mereka yang akan dijadikan bandara. Proyek tersebut akan menggusur lahan seluas 637 Hektar yang  meliputi 6 desa yaitu (Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon) yang melibatkan sekitar 2.875 Kepala keluarga. Lahan tersebut meliputi perumahan warga, sekolah, masjid, dan lahan pertanian produktif warga. Sedangkan, jumlah kepala keluarga yang akan direlokasi hanya 5 desa yaitu  472 KK dari 2.875 kepala keluarga. Lahan pengganti perumahan untuk 472 KK tersebut hanya 58 hektar saja. Ketidakjelasan dalam proses ganti rugi dan tidak adanya sosialisasi dari pihak PT Angkasa Pura I dan pemerintah, menambah daftar ketidakberesan proyek tersebut. Lagi-lagi kesejahteraan rakyat dikorbankan dengan mengatasnamakan pembangunan. Maka, dengan ini kita tegaskan bahwa, perjuangan menuntut keadilan hak rakyat atas tanah dan penolakan terhadap pembangunan bandara diatas lahan pertanian produktif di Kulonprogo adalah sebuah perjuangan besar dengan berasaskan UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai sebuah cita-cita besar bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan Rakyat.

 

Direktorat Jenderal Kajian Strategis

DEMA Fakultas Pertanian UGM

Kabinet Bergerak Inovatif 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.