Hasil Survei: Perjuangan Menolak Pembangunan Bandara diatas Lahan Produktif Pertanian Kulonprogo

Rabu, 13 Mei 2015, sebanyak 20 mahasiswa yang terdiri dari perwakilan lembaga UGM seperti: Dema Pertanian, Dema Fisipol, BEM FTP, BEM Biologi, BEM Sekolah Vokasi, LM Psikologi, dan Dema Justicia melakukan survei ke Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo. Survei ini dilakukan untuk melihat bagaimanakah keadaan sekitar perumahan warga serta lahan pertanian di Desa Glagah yang merupakan satu diantara enam desa yang berencana dijadikan lokasi pembangunan bandara di Kulonprogo. Sebanyak 12 orang berangkat pada pukul 18.30 WIB, sedangkan kloter kedua berangkat pada pukul 22.40 WIB. Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih 80 menit. Suasana dingin dan berkabut menyelimuti kawasan Desa Glagah. Kami berkeliling sekitar, tampak banyak coretan dan poster di setiap rumah warga yang bertuliskan

Tolak Pembangunan Bandara”.. “jangan ambil lahan pertanian kami”.. “Kami hanya ingin lahan pertanian kami”dan masih banyak sekali tulisan yang berujung pada satu tujuan yaitu menolak adanya pembangunan bandara diatas lahan produktif pertanian di Kulonprogo.

Malam sudah larut, kami tiba di salah satu rumah warga, Bapak Martono, tempat kami akan menginap. Saat kami datang, kami disambut beberapa warga di sana. Awalnya mereka agak tampak ragu, sehingga kami semua diminta untuk menunjukkan kartu tanda mahasiswa UGM satu per satu sebagai bukti bahwa kami bukan mata-mata atau oknum yang akan mengusik ketentraman tempat tinggal dan lahan mereka di Kulonprogo. Hal ini wajar terjadi, Desa Glagah saat ini sedang berstatus daerah konflik. Peristiwa penetapan Izin Lokasi Pembangunan (IPL) bandara yang telah diterbitkan 31 Maret 2015 yang lalu, peristiwa penangkapan 4 petani Kulonprogo yang digugat dengan tuduhan perusakan fasilitas umum dan provokasi, peristiwa tuntutan pembatalan IPL oleh Lembaga bantuan Hukum Yogyakarta yang dikawal dengan aksi oleh puluhan warga Kulonprogo, peristiwa maraknya kriminalisasi terhadap warga Kulonprogo, munculnya oknum tertentu yang ingin memasang patok pembatas lahan, dan banyaknya mata-mata yang mengawasi arah gerak petani Kulonprogo membuat warga semakin hati-hati dalam menerima tamu. Namun, dengan penjelasan yang baik, kami akhirnya dapat diterima dengan baik pula.

Malam itu kami menggali informasi sebanyak-banyaknya. Kami juga ditunjukkan batas-batas lahan yang akan digusur dan yang tidak digusur. Lahan tersebut seluas 635 ha, yang  meliputi 6 desa yaitu (Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon) yang melibatkan sekitar 2.875 Kepala keluarga. Lahan tersebut meliputi perumahan warga, sekolah, masjid, dan lahan pertanian produktif warga. Jika digolongkan, maka warga di Kulonprogo terdiri dari 3 golongan yaitu warga yang setuju dengan pembangunan bandara di Kulonprogo, warga yang tidak setuju, dan warga yang setuju dengan bersyarat. Warga yang tidak setuju dengan pembangunan bandara adalah warga yang mempunyai lahan produktif pertanian, warga yang pro bersyarat adalah warga sekitar yang tanahnya tidak digusur dan tidak memiliki lahan pertanian, dan warga yang setuju pembangunan bandara adalah warga yang mendapat tekanan atau intimidasi dari oknum-oknum tertentu.

Jika dilihat rumah warga desa Glagah sudah termasuk cukup sejahtera. Rata-rata mereka membangun rumah sudah dengan semen dan lantai keramik. Dalam satu keluarga bisa memiliki 2-4 motor. Artinya, kehidupan mereka hanya bergantung dari pertanian saja sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka sejahtera. Lahan pertanian merupakan tempat bagi mereka mencari nafkah, andai saja lahan mereka harus dirampas, kemanakah mereka harus mencari pekerjaan?

Pagi hari, kami semua berkunjung ke lahan pertanian warga Glagah. Ya memang benar, tanah di lahan tersebut merupakan tanah pasiran berwarna hitam. Komoditas utama yang ditanam adalah tanaman cabai. Ribuan meter tanaman cabai tumbuh subur di lahan itu, ada juga yang menanam semangka, melon, terong, kambas, singkong, jagung, tanaman dewa, bawang merah, kedelai, kacang, dan papaya. Semua tanaman tersebut tumbuh subur. Sungguh sayang, ketika lahan sesubur itu harus dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. Kita semua telah sama-sama belajar dari pengalaman, bahwa alihfungsi lahan pertanian tidak hanya menurunkan jumlah produk pertanian, tetapi juga pendapatan dan lapangan pekerjaan bagi petani. Lahan pertanian di Kulonprogo tidak hanya menghidupi warganya tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga di luar daerah Kulonprogo.

Memperjuangkan Lahan Pertanian Kami..

Banyak sekali orang diluar sana, ketika dihadapkan pada pilihan mana yang lebih penting “antara menjaga lahan pertanian tetap lestari atau menggantinya dengan pembangunan bandara?”. Maka 60% masyarakat awam akan memilih pembangunan bandara di lahan pertanian. Tentu pilihan ini merupakan pemikiran yang dangkal. Seharusnya kita semua berpikir jauh ke depan, di mana kebutuhan akan produk pertanian terus meningkat sepanjang tahun, sedangkan lahan pertanian terus menurun drastis. Ketika setiap lahan pertanian terus dialihfungsikan menjadi pembangunan maka lambat laun, Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya akan kekurangan lahan pertanian produktif, sehingga jumlah supply akan produk pertanian akan turun dan menyebabkan harga menjadi mahal. Mungkin saat ini kita terus saja menyepelekan akan lahan pertanian, namun suatu saat ini jika lahan pertanian telah habis, kita semua baru akan menyadari dan menyesali betapa pentingnya lahan pertanian.

Ingat!!! Lahan bandara tidak bisa menghasilkan makanan untuk kita!! Ketika hari ini kita masih saja tidak peduli dengan isu ini, mungkin kita harus berhati-hati karena bisa jadi suatu saat nanti giliran lahan tempat kita sekolah, lahan keluarga kita, dan lahan tempat keluarga kita mencari nafkah akan menjadi sasaran selanjutnya penggusuran dan alihfungsi. Ketika hal itu terjadi, maka kita barulah bisa memahami bagaimana perasaan warga di Temon saat ini, dimana mereka hidup dalam bayang-bayang penggusuran. Mereka tidur dalam mimpi buruk dan was-was akan penggusuran yang kapan saja bisa terjadi. Jujur, kami tidak rela tanah yang pada awalnya pasir gersang kemudian diolah selama berpuluh tahun hingga kini menjadi tanah yang subur dan dapat ditanami sayuran dan bebuahan harus digusur menjadi bandara. Kami tidak rela senyum anak-anak kecil yang bermain di ladang menunggu orangtua mereka bekerja harus berubah menjadi tangis pilu. Kami tidak rela jika dikemudian hari warga-warga yang baik ini, yang ramah pada kami harus kehilangan lahannya di kemudian hari. Kami tidak rela jika keringat perjuangan mengolah lahan pertanian harus berubah menjadi cucur darah dalam melawan penguasa zalim. Sungguh, kami semua membutuhkan bantuan teman-teman untuk lebih peduli dan membantu dalam mengawal isu ini, memperjuangkan hak lahan bagi petani Kulonprogo—sebelum semuanya terlambat …

Oleh karena itu, perjuangan menolak pembangunan bandara yang dibangun diatas lahan produktif pertanian adalah kebenaran. Bandara boleh saja dibangun dimana saja, asalkan tidak diatas lahan pertanian

—Martono, warga desa Glagah.

 

Direktorat Jenderal Kajian Strategis

DEMA Pertanian UGM

Bergerak Inovatif 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.