Terminator pembunuh masa depan Pertanian Indonesia

145775

Apa yang terbesit dalam fikiran anda tentang benih? Tidak ada yang istimewa memang, tetapi bagi saya benih adalah sesuatu yang indah. Hal kecil yang terus hidup dan menjanjikan sebuah masa depan, seperti para petani kecil yang menjadi masa depan bangsa yang masih lapar ini. Sedikit yang terngiang bagi saya mahasiswa pemuliaan tanaman yang berkutat dengan urusan benih adalah kuliah berikut perkataan dan inspirasi dari seorang dosen yang berhasil merakit benih varietas unggul kedelai hitam dan tidak melupakan bahwa benih tersebut adalah hak petani, yang kemudian memutuskan untuk tidak mengkomersialkan hasil temuanya tersebut melainkan digunakan untuk kesejahteraan petani. Benih adalah masa depan, namun entah masa depan ini diperuntukan bagi siapa, dan pada kenyataanya tidak sedikit pula perampas masa depan di negeri ini yang menggunakan benih sebagai alat perampas kedaulatan rakyat dan bangsa ini. Dari benih muncul juga banyak persoalan.  Benih bisa menjadi media implerialisme bentuk baru, silang sengketa, ketamakan, dan harapan kehidupan.

“Sekelam apapun masa lalu, masa depanya bersih tak bernoda”

Masih ingat sengketa monsanto dengan petani kapas di Bulukumba, Sulawesi Selatan betapa petani menjadi korban. Kala itu kemurkaan petani membumi hanguskan hamparan kapas yang gagal, terungkap juga kasus penyuapan sejumlah petinggi termasuk pemerintah pusat, 1 per 1 mantan pejabat penting seperti Bungaran Saragih (mantan MenTan) dan Nabiel Makarim (mantan Men. LH) dipanggil KPK, dimintai keterangan berkaitan dg suap Monsanto sebesar 750.000 dolar AS kepada lebih dari 140 pejabat penting di Indonesia. KPK membidik Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian, Bappenas, Pemda/DPRD Sulawesi Selatan, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. merekalah yang bermain demi melancarkan izin penjualan benih transgeniknya di Indonesia. Skandal kapas ini mengingatkan kita pada kasus yang menyengsarakan rakyat.

Masih belum hilang juga dalam ingatan kita akan kasus Tukirin pada tahun 2005.  Petani yang hebat nan malang ini dituntut oleh perusahaan benih jagung terkenal gara-gara menjual benih jagung dari hasil kebunnya sendiri.  Tukirin dilaporkan ke polisi dengan tuntutan melakukan pembenihan ilegal.  Kasus serupa yang tidak terekspos bisa jadi lebih banyak lagi di negeri ini.

Kriminalisasi petani  yang melakukan pemuliaan tanaman seperti Tukirin masih sangat mungkin terus lestari. UU no 12/1992 tentang  budidaya tanaman dan UU no 29/2000  tentang Perlindungan varietas tanaman yang sampai saat ini masih tidak mengakui adanya keberadaan petani pemulia tanaman yang justru menegasikan petani tetapi hanya mengakomodir kepentingan pemulia tanaman. Undang-undang tersebut mendikotomikan petani dengan pemulia tanaman, dimana petani dan pemulia tanaman berada dalam dua entitas berbeda. Dan lebih berpihak pada perusahaan besar dengan adanya regulasi perijinan dan  proses sertifikasi benih yang rumit, lama dan mahal.

Kabar yang belum banyak diketahui bahwa pada tahun 2016 ini tampaknya Indonesia akan menjadi tempat syuting film terminator, bagaimana tidak setelah 15 tahun skandal bulukumba, nampaknya pemerintah kembali menggelar karpet merah kepada monsanto sang pencipta benih transgenik yang terkenal sebagai benih “terminator”. Awal Desember lalu, seperti dilansir pada sindoweekly 18/12/2015 mengabarkan bahwa Kementerian Pertanian bakal melepas benih jagung hasil rekayasa genetika produk raksasa bioteknologi asal Missouri, Amerika Serikat. Kementerian pertanian menyatakan akan segera melepas jagung transgenik RR NK603 milik perusahaan transnasional penguasa teknologi tanaman transgenik terbesar di dunia, Monsanto.

Inilah benih jagung transgenik pertama Monsanto yang memperoleh restu tanam di Indonesia. Sebelumnya, sejak 2011, delapan varietas benih jagung Monsanto hanya memiliki izin konsumsi—sebagian besar sebagai pangan dan sisanya pakan. NK 603 diklaim varietas unggul karena kebal terhadap herbisida glifosat, senyawa kimia yang digunakan untuk membasmi gulma. Penguasa 90% pasar benih dunia beserta gudang ilmu bioteknologi ini memang ahlinya dalam memecahkan masalah dalam hal bahan tanam.

Dari sisi teknologi untuk menjawab tantangan zaman monsanto dan benih terminatornya adalah yang paling baik, namun tak sedikit pula kontroversi atas lahirnya benih transgenik terminator ini. Pro dan kontra akan tanaman transgenik memang sudah sejak lama bergulir, begitu pula penyebaran dan konsumsi hasil tanaman transgenik ini sudah akrab di dalam siklus dan daur energi yang berawal dari mulut. Kapan terakhir kita makan tempe, coba telisik dari mana tempe kebanggan masyarakat Indonesia itu berasal? Tak sedikit kedelai impor dari Amerika lah yang menjadi  bahan baku pembuatan tempe di Indonesia, tak sedikit pula itu adalah hasil dari tanaman transgenik.  Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita mencoba sedikit berpendapat tentang persoalan ini.

Percaya kepada benih yang menjanjikan masa depan seperti percaya bahwa presiden akan memenuhi janjinya mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani serta produsen pangan skala kecil di negeri ini.  Namun ketidakpahaman dan kelemahan Kementrian Pertanian menyebabkan kegagalan dalam menterjemahkannya. Bahkan melenceng jauh dari prinsip Kedaulatan Pangan ini.

Masih ingat Kedaulatan Pangan seperti yang dijanjikan dalam Nawacita, adalah memberikan dukungan  kepada kesejahteraan petaninya. Program 1.000 desa daulat benih, dan 1000 desa organik  yang menjadi prioritas dalam membangun Kedaulatan Pangan di negeri ini, bukanya malah menggunakan  benih-benih yang dihasilkan oleh perusahaan benih raksasa multinasional, atau pun program-program yang fokus pada produktivitas tetapi mengabaikan petaninya.

Menanggapi rencana pelepasan jagung transgenik oleh kementerian pertanian seharusnya pemerintahan Jokowi-JK perlu lebih jeli dan cermat dalam menterjemahkan konsep Nawacita Kedaulatan Pangannya. Apakah bisa tanaman hasil rekayasa genetik, yang dikenal juga sebagai tanaman transgenik, akan memuluskan janji dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan? Apakah bisa juga kebijakan ini menjamin kesejahteraan petani kecil di Indonesia?

Mari coba kita lihat sedikit hal yang berkaitan dengan pemberian restu untuk benih transgenik ini.

1). Dari sisi keamanan pangan untuk manusia, produk rekayasa genetika “benih transgenik” masih belum dapat dipastikan mengenai keamanannya dari sudut pandang lingkungan, kesehatan, dan pertanian berkelanjutan. Hal ini masih diperdebatkan oleh kalangan peneliti, akademisi dan pemerhati lingkungan.

2). Benih transgenik yang kemudian tumbuh menjadi tanaman transgenik jika mengkontaminasi tanaman lainnya yang bukan transgenik akan berpotensi mengganggu siklus ekosistem. Jika kemudian tanaman transgenik hasil dari benih-benih tersebut sudah beredar dan serbuk sari mengkontaminasi tanaman lainya, dan banyak pula tanaman lain yang lenyap karena kalah dalam kompetisi dengan tanaman transgenik ini, bagaimanakan nasib Indonesia yang merupakan gudang dari keanekaragaman hayati ini.

3). Benih terminator transgenik akan menjadikan ketergantungan hebat bagi petani. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto yang mengembangkan benih Terminator.  Demikian juga Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan Verminator yang intinya sama. Benih tanaman tersebut akan membunuh turunannya, kecuali diberi pemicu bahan kimia yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Benih-benih tanaman itu telah disusupi dengan gen “suicide seed“ sehingga petani tidak akan dapat lagi menyisihkan hasil panennya untuk dijadikan benih kembali, karena turunan pertamanya tidak dapat tumbuh.  Kenyataan yang harus dihadapi adalah setiap kali menanam, petani harus membeli benih kembali dari perusahaan/agen, sehingga ketergantungan petani terhadap benih tersebut makin besar.

4). Penggunaan benih-benih transgenik adalah ancaman besar konstitusi. Seperti yang kita tahu bahwa makanan adalah urusan hajat hidup orang banyak. Jika melihat sudut pandang etika tidak benar jika masyarakat Indonesia digunakan sebagai kelinci percobaan dalam upaya produksi rekayasa genetika. Mengingat juga bahwa mandat konstitusi kita mengatakan bahwa negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum. Salah satu penjabaran mandat konstitusi tersebut adalah pemerintah harus menyediakan pangan yang aman dan sehat serta harus melindungi sumber-sumber makanan yang tersedia dari ancaman-ancaman yang berpotensi merusak struktur ekosistem pangan di Indonesia.

5). Kebijakan pemberian izin benih transgenik dari perusahaan multinasional sangat bertolak belakang dengan janji Nawacita. Jika kemudian kebijakan ini diberlakukan bukan tidak mungkin benih transgenik dan perusahaan perusahaan pencetaknya akan mengantri untuk menunggu giliran mendapatkan restu menjajah petani. Program 1000 desa daulat benih seiring berjalanya waktu mungkin akan berubah menjadi program 1000 desa demplot benih transgenik.

Indonesia dalam setiap jengkal tanah dan daerahnya terkandung kekayaan yang luar biasa begitu pula keanekaragaman hayatinya sangat melimpah, setiap daerah dan lokasi memiliki keunikan tersendiri yang mungkin belum dimanfaatkan lebih dalam oleh masyarakat umum bahkan pemerintah. Sebenarnya Indonesia mampu dalam menyediakan kebutuhan benih yang berbagai macam dan berciri khas dari kekayaan lokal berbagai daerah di Indonesia, hal ini sangat mendukung dan sejalan direalisasikanya konsep NawaCita Kedaulatan tentang 1000 desa berdaulat benih.

Keputusan untuk melegalkan dan mengembangkan terminator hasil cetakan perusahaan transnasional akan sangat mencederai perasaan petani, pemerintah harusnya lebih jeli dalam menganalisa potensi sumberdaya keanekaragaman hayati dan kemampuan petani sebelum kemudian mengambil suatu tindakan. Bukan tidak mungkin ketika nanti terminator sudah berkembang di Indonesia petani kita akan terus bergantung pada terminator tersebut karena terbukti produktivitasnya lebih baik, bukan tidak mungkin benih benih lain yang merupakan kekayaan lokal alam Indonesia akan ditinggalkan dan hilang tak bersisa. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab dengan keanekaragaman hayati di negeri ini, ketika benih transgenik terminator ini tidak bisa dikembangkan kembali dan Undang-undang menyatakan bahwa hanya perusahaan pemilik paten saja yang boleh mengembangkanya. Dan ketika ada petani yang kemudian mempunyai ilmu pengetahuan hebat yang bisa memuliakan tanaman tersebut terpaksa harus diam karena dibatasi oleh hukum, pastilah sejarah kelam akan terulang kembali,  kasus Tukirin Petani yang hebat nan malang yang dituntut oleh perusahaan benih karena menjual benih dari hasil kebunya sendiri akan mewabah di Negeri ini. Kriminalisasi petani  yang melakukan pemuliaan tanaman akan merajalela. Bisa jadi UU no 12/1992 tentang  budidaya tanaman dan UU no 29/2000  akan menjadi senjata untuk mematikan petani petani.

Pemerintah harus konsisten dan tidak sepatutnya menjalankan dua kebijakan yang bertentangan, konsep 1000 desa berdaulat benih harus di dukung oleh kebijakan turunanya yang dapat melindungi hak dan kedaulatan petani. Pemerintah seharusnya memberi ruang yang sebesar-besarnya bagi petani untuk menjadi petani pemulia, bukan malah memberi karpet merah kepada perusahaan benih transnasional yang dapat memeras dan menjajah petani dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya.

Benih hanyalah salah satu komponen dan syarat dari terealisasikanya Kedaulatan Pangan, Kepercayaan kepada Nawacita kedaulatan pangan seperti percaya kepada benih yang menjanjikan masa depan. Jika benihnya uggul sudah murni tanpa pengotor pastilah masa depanya akan terjamin, namun jika urusan benih saja sudah tidak mampu diatasi yakinlah masa depan pertanian Indonesia akan kelam.

 

Dimas Tri Asmara, Pemuliaan Tanaman 2013.

Referensi :

  1. UU No 12/1992 tentang sistem budi daya tanaman.
  2. UU No 29/2000 tentang perlindungan varietas tanaman.
  3. spi.or.id
  4. Sindoweekly.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.