Ekspor Impor di Tangan Siapa?

      Tak ada komentar pada Ekspor Impor di Tangan Siapa?

Backup_of_diskusi publikOleh: Dema Fakultas Pertanian UGM

Pada hari Kamis, 26 Mei 2016 kami mahasiswa yang tergabung di Kedirjenan Kajian Strategis Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian mengadakan Diskusi Publik dengan judul “Ekspor Impor di Tangan Siapa?” di Auditorium Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Acara ini berlangsung dari pukul 14.00-16.00 WIB dengan dihadiri oleh 32 peserta dari Fakultas Pertanian UGM dan Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Diskusi Publik ini menghadirkan pembicara yaitu Bapak Subejo, S.P. M.Si. Ph.D. selaku dosen Fakultas Pertanian, Ibu Mainil Asni SE. ME. selaku perwakilan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DI Yogyakarta, dan Ibu Theresia Sumartini, SIP. MPA., selaku Kepala Seksi Fasilitasi Ekspor-Impor Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (Disperindag) Provinsi DIY, serta moderator yaitu Ryan Alhakim mahasiswa Departemen Mikrobiologi.

Tema ekspor dan impor yang diangkat pada diskusi ini merujuk pada keadaan dimana terjadi perbedaan data yang dimiliki Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan terkait stok pangan Indonesia. Perbedaan data tersebut menyebabkan terjadi silang pendapat antara kedua kementerian mengenai kebijakan ekspor dan impor. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengapa data yang dimiliki kedua kementerian tersebut tidak sama. Berdasarkan keadaan tersebut diskusi publik dengan tema “Ekspor Impor di Tangan Siapa?” ini digelar dengan tujuan mengetahui lebih jelas tentang regulasi dan keadaan ekspor impor Indonesia saat ini beserta mengetahui pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan ekspor dan impor. Subyek ekpor-impor yang dibahas dalam diskusi publik ini terfokus pada impor komoditas pertanian.

Pada bulan April 2016 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluhkan ketidaksamaan data pangan yang dimiliki Kemeterian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pusat Statistik. Menurut beliau, perbedaan data pada lembaga-lembaga terkait, terutama Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, akan mempersulitnya dalam mengambil langkah kebijakan. Ketidaksinkronan data antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian telah menjadi rahasia umum. Di saat Kementerian Pertanian percaya diri pada ketersediaan pangan, Kementerian Perdagangan menyoroti harga-harga yang melonjak yang diartikan sebagai ketiadaan pasokan. Situasi yang sama terus terjadi.

Penyebab Perbedaan Data

Perbedaan data yang terjadi di lapangan tersebut disebabkan perbedaan konsep yang digunakan oleh masing-masing lembaga namun pada dasarnya datanya sama. Khusus daerah Yogyakarta, perbedaan data tersebut juga disebabkan beberapa lembaga mendapatkan data dari sumber yang berbeda, seperti Disperindag Yogyakarta yang mendapat tambahan data catatan ekpor-impor dari perusahaan yang bersangkutan sedangkan BPS tidak. Beberapa perusahaan yang melakukan impor ke Yogyakarta pun terkadang melewatkan produknya melalui kota lain sehingga tercatat di kota tersebut dan bukan di Yogyakarta. Data mengenai impor juga dirasa sulit didapatkan karena impor mampu masuk melalui mana saja.

Perbedaan data juga wajar timbul karena proses yang dipakai selama pengambilan data pun berbeda antar lembaga. Standar yang ditetapkan internasional  seringkali tidak sesuai dengan kondisi daerah-daerah yang ada di Indonesia yang keberagamannya tinggi, sehingga untuk menyesuaikannya diadakan perhitungan sektoral. Namun bukan berarti data dari BPS tidak digunakan oleh lembaga-lembaga lain. Data BPS tetap digunakan sebagai pembanding antar daerah ataupun negara lain. BPS Provinsi DI Yogyakarta sendiri mendapatkan data ekspor bukan melalui survei sendiri, melainkan dari data yang dimiliki Bea Cukai.

Perlukah Indonesia Melakukan Impor?

Sektor pertanian adalah sektor yang sangat penting karena terkait langsung dengan masalah ketersediaan pangan sehingga menjadi muara problem-problem dunia. Masalah ketersediaan pangan menjadi hal yang sangat sensitif bagi negara dan selalu mendapat perhatian lebih. Stok pangan di suatu negara dapat berdampak besar pada berbagai sektor lain yang terkait. Apabila Indonesia kekurangan stok pangan dapat menimbulkan kericuhan di masyarakat. Oleh karenanya, berbagai usaha untuk memenuhi pangan dalam negeri terus dilakukan termasuk melaksanakan impor. Disaat stok pangan Indonesia menipis maka langkah impor diambil sebagai pilihan yang krusial.

Impor harus disikapi sebagai suatu usaha jangka pendek untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang komoditinya tidak bisa dihasilkan oleh Indonesia sendiri. Untuk memenuhi stok pangan Indonesia dalam waktu yang relatif singkat, pemerintah melaksanakan impor agar stok pangan tetap stabil. Ketidakstabilan stok pangan dapat menimbulkan kenaikan harga-harga pangan sehingga menimbulkan masalah di masyarakat. Dalam perjanjian internasional, salah satu syarat suatu negara yang akan melaksanakan ekspor adalah negara tersebut melaksanakan impor. Maka selamanya impor akan tetap dilaksanakan oleh Indonesia selama ekspor dilakukan.

Isu impor yang paling sering diperbincangkan adalah impor beras dan kedelai. Mengapa Indonesia masih mengimpor beras atau kedelai padahal sesungguhnya Indonesia mampu menghasilkannya sendiri? Salah satu komoditi pangan yang paling tinggi konsumsinya di Indonesia adalah beras. Indonesia sendiri adalah negara produsen beras ketiga terbesar di dunia. Namun ketahanan pangan Indonesia hanya urutan kelima di Asia Tenggara sehingga pemerintah seringkali masih mengimpor beras walaupun Indonesia mampu menghasilkan beras sendiri. Hal yang sama pun terjadi pada kedelai. Sekian  dari penyebabnya adalah tidak maksimalnya penggunan lahan pertanian dan banyaknya infrastuktur yang rusak. Anggaran yang digelontorkan untuk sektor pertanian pun terbilang sangat kecil, tidak mencapai 4% dari APBN yaitu tidak lebih dari 20 triliun rupiah.

 

 

Ekspor-Impor di Tangan Siapa?

Proses ekspor maupun impor melibatkan banyak pihak, tidak hanya  Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian atau lembaga-lembaga dibawahnya saja. Sebagai contoh apabila Disperindag hendak melakukan ekspor-impor suatu komoditi maka harus seizin lembaga yang bersangkutan, misalkan impor kayu harus seizin Kementerian Kehutanan atau impor komoditas pertanian harus seizin Kementerian Pertanian. Proses Impor pun tidak bisa lepas dari Bea Cukai. Sehingga bisa dikatakan, ekspor-impor berada di tangan semua pihak meliputi eksportir, importir, kementerian terkait, bea cukai, serta lembaga-lembaga yang bersangkutan. Dikarenakan banyaknya tangan yang terlibat dalam bidang ekpor dan impor, maka setiap ada permasalahan di bidang ini tidak bisa hanya ditudingkan pada satu dua kementerian saja, melainkan juga pada semua elemen yang terlibat.

 

#HidupPertanianIndonesia

#HidupRakyatIndonesia

#HidupMahasiswaIndonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.