Anasilis Sosoal Hari Nelayan “Menelisik Kehidupan Nelayan di Pantai Sadeng”

Tanggal 6 April diperingati sebagai hari Nelayan Indonesia. Berakne macam ikan dan hasil laut yang kita konsumsi tentu saja diperoleh dari jerih payah para nelayan dalam berlayar dilaut mencari berkah yang dituruhkan Tuhan ke Bumi. Nelayan, profesi yang penuh resiko menjadikannya pekerjaan yang sangat berharga. Lima jam perjalanan telah ditempuh dari Kampus UGM menuju wilayah Pantai Sadeng pada hari Sabtu, 21 Maret 2015. Kami, Mahasiswa Fakultas Pertanian yang terdiri dari DEMA Pertanian, Keluarga Mahasiswa Ilmu Perikanan dan Klinik Agromina Bahari melakukan perjalanan menuju Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta. Perjalanan ini dilakukan semata-mata untuk mencari segala informasi tentang keadaan nelayan sekarang.

Bagaimana sesungguhnya kondisi sebenarnya nelayan saat ini perlulah untuk diperhatikan. Bukan sekedar karena issue UU, Menteri Susi, tapi juga mengenai kepedulian kita terhadap nelayan sebagai salah satu pahlawan pangan Indonesia. Pantai Sadeng, salah satu pantai yang berlokasi di wilayah Gunung Kidul ini memiliki pelabuhan terbesar di Yogyakarta. Nelayan yang melaut melalui pantai Sadeng berdatangan dari berbagai daerah, jumlahnya cukup banyak. Puluhan kapal kecil dan belasan kapal besar berlayar menuju pantai selatan berangkat dari Pantai Sadeng, Gunung Kidul.

Analisisi sosial dilakukan untuk mengetahui Indeks Pengembangan Manusia Nelayan di Pantai Sadeng. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan atau kinerja suatu negara atau wilayah dalam bidang pembangunan manusia. (Mulyani, 2009). IPM (Indeks Pembangunan Manusia) disusun dari komponen pembangunan manusia yang dianggap menjadi dasar yaitu:

  1. Ketahanan Hidup/Usia Hidup (Longevity), diukur dengan harapan hidup pada saat lahir.
  2. Pendidikan yang dihitung berdasarkan tingkat rata-rata melek huruf dikalangan penduduk dewasa (bobotnya dua pertiga) dan angka rata-rata lama sekolah (bobotnya sepertiga).
  3. Kualitas standar hidup yang diukur berdasarkan pendapatan perkapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli dari mata uang domestic dimasing-masing Negara. (Astri, 2013). Analisis sosial ini dilakukan sekaligus untuk mengetahui indeks ekonomi masyarakat nelayan dengan mencari informasi mengenai pendapatan yang diperoleh, modal yang harus dikeluarkan, serta berbagai macam informasi tentang kehidupan nelayan. Sebanyak lima belas dari duapuluh orang nelayan berusia lebih dari tigapuluh tahun hingga usia lima puluh tahun. Sembilan puluh persen nelayan yang kami temui, tidak memiliki pekerjaan sampingan. Mereka lebih banyak focus dalam usaha mencari ikan di laut. Dua dari 20 nelayan bekerja sebagai peternak dan pekerja bengkel. Mari sejenak kita mengetahui sedikit dari kebiasaan para nelayan dalam mencari ikan. Di Pantai Sadeng, kita bisa mengelompokkan nelayan menjadi dua macam menurut cara melautnya. Ada nelayan yang mencari ikan dengan kapal kecil, dan ada pula yang menggunakan kapal besar.

Pertama tama, kita bahas dulu pola penangkapan Kapal Kecil di Pelabuhan Pantai Sadeng. Nelayan yang biasanya dipanggil dengan ABK ini setiap hari memasang jaringnya berkisar antara 10 hingga 30 mil dari ujung pantai. Satu kapal kecil akan membawa tiga sampai lima orang nelayan yang bekerjasama menangkap ikan. Mereka biasa berangkat sehabis subuh dan kembali lagi ke daratan menjelang dzuhur. Jaring yang telah dipasang akan diambil sehari setelahnya, sehingga bisa dikatakan frekuensi hauling nelayan dengan kapal kecil adalah satu kali sehari. Hasil tangkapannya bermacam-macam tergantung dari musim-musim berbagai jenis ikan yang didapat.

Biasanya, ABK mendapat 10 hingga 25 kg dalam sekali melaut. Jika musim sedang bagus, mungkin hasil laut bisa mencapai beberapa nominal kwintal. Namun tak jarang juga sekembalinya nelayan dari melaut, hasil tangkapan nelayan bisa sebanyak 0 kg. Artinya, nelayan tidak membawa hasil apapun untuk dibawa pulang maupun dijual. Padahal, untuk melaut satu kapal memerlukan modal sebanyak 200 hingga 500 ribu rupiah. Yang kedua adalah Nelayan dengan kapal besar yang berisikan belasan hingga puluhan orang dalam sekali pemberangkatan.

Kapal besar mampu melaut sejauh ratusan mil dari ujung pantai Sadeng. Waktu pelayaran nelayan dengan kapal besar begitu panjang, bahkan bisa berhari-hari. Biasanya nelayan melaut selama tujuh hari dengan hasil 10-15 ton sekali melaut (1 ton=1.000kg). Hasil tangkapan ini bisa berkali-kali lipat disbanding dengan hasil tangkapan kapal kecil karena kapal besar bisa melaut lebih ke-tengah samudra, sehingga ikan-ikan dan hewan laut bisa lebih senang masuk ke jaring mereka. Meskipun begitu, menurut hasil wawancara kami pendapatan kedua macam nelayan ini tidak jauh berbeda. Mereka harus membaya cukup mahal untuk biaya sewa kapal atau bagi hasil dengan pemilik kapal.

Nelayan kapal kecil meskipun pendapatannya tidak cukup besar, pemilik kapal tetaplah mengantongi 25% hasil tangkap sekali melaut. Bagi kapal besar, pemilik kapal akan mendapatkan bagian 50% dari hasil tangkapnya. Sedangkan 50% lainnya dibegi-bagikan kepada 15-25 awak kapal yang ikut melaut. Pendapatan nelayan memang tidak menentu, maka wajar jika nelayan tidak bisa memprediksi berapa pendapatannya selama satu bulan. Mayoritas nelayan memperkirakan pendapatannya sekitar 1-3 juta perbulan. Perlu diketahui bahwa system bagi hasil telah diatur oleh pemerintah dengan UU Bagi Hasil, namun dalam pelaksanaannya nelayan masih menggunakan aturan kebiasaan dalam sistem bagi hasil.

Harga-harga kebutuhan hidup dan jumlah tanggungan keluarga menjadi beban tersendiri bagi kehidupan nelayan. Harga bahan-bahan pokok di pesisir pantai tidaklah semurah yang kita temukan di pertengahan kota. Apalagi harga BBM sebagai modal utama menjalankan mesin perahu untuk melaut harganya bisa mencapai 9.000 rupiah perliter, belum termasuk fluktuasi harga BBM yang terjadi pada saat ini. Cuaca dan gelombang air laut yang pasang surut acap kali menjadi ancaman bagi keselamatan nelayan saat melaut. Untunglah semua ikan yang didapat oleh nelayan dibeli oleh pengepul ikan. Jadi, tidak ada ikan yang akan bersisa dipelabuhan. Bahkan ikan di perairan Indonesia diperebutkan oleh Negara-negara tetangga seperti Taiwan dan China.

Sayangnya, di Pantai Sadeng belum ada upaya pengolahan ikan untuk meningkatkan daya jual ikan. Sebanyak 55% nelayan yang kami temui, pendidikan terakhirnya adalah setingkat Sekolah Dasar. Nelayan yang memiliki anak, justru merasa bingung bagaimana menyekolahkan putra-putrinya karena disekitar pantai tidak ada fasilitas sekolah. Puskesmas paling dekat dengan bibir pantai berjarak sembilan kilometer. Nelayan merasa kebingungan mencari tempat untuk berobat jika terkendala kesehatan, apalagi jika telah usai melaut. Saat putra-putri mereka sakit, para nelayan tidak tahu harus kemana untuk membawa mereka berobat.

Dilihat dari analisis sosial ini, Indeks Perkembangan Manusia di daerah Sadeng memiliki ketimpangan pada Indeks Kesehatan dan Indeks Pendidikannya. Jumlah Nelayan yang memenuhi wajib belajar 9 tahun tidaklah banyak, pun seharusnya hal ini tidak berulang kepada anak-anak mereka. Pusat layanan kesehatan yang jauh dari rumah-rumah dan kondisi tempat tinggal nelayan yang sempit memberikan ruang kepedulian kita terhadap angka harapan hidup para nelayan. Meskipun penghasilan nelayan telah diatas UMR, tidak seharusnya meluruhkan kepedulian kita terhadap para nelayan. Kondisi yang tidak pasti dan ancaman atas penindasan masih banyak terjadi di sekitar mereka. Biro Riset dan Pengembangan DEMA FPN dan Kastrat KMIP bersama segenap anggota Advokasi DEMA FPN, Kastrat DEMA FPN, dan Keilmuan Klinik Agromina Bahari. Kami, panitia Hari Nelayan.

 

 

Referensi:

Maryani, Tri. 2009. Analisis indeks pembangunan manusia di provinsi Jawa Tengah.

Astri, Meylina, Sri I. N., Harya K. W. 2013. Pengaruh pengeluaran pemerintah daerah pada sektor pendidikan dan kesehatan terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan bisnis vol 1 (1) : 77-102

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.